Biografi Singkat Kh. Ahmad Dahlan
Muhammad Darwisy (KH. AHMAD DAHLAN) dilahirkan dari kedua orang bau tanah yang dikenal sangat alim, adalah KH. Abu Bakar (Imam Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan Nyai Abu Bakar (Puteri H. Ibrahim, Hoofd/penghulu Yogyakarta).
Tak ada yang menampik silsilah Muhammad Darwisy sebagai keturunan keduabelas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan ternama di antara Walisongo, serta dikenal pula selaku penggerak pertama penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa.
Silsilah KH. Ahmad Dahlan: Muhammad Darwisy yakni putra KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kiai Murtadla bin Kiai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Jatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.
Muhammad Darwisy dididik dalam lingkungan pesantren semenjak kecil, dan sekaligus menjadi tempatnya menimba pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan ibadah haji saat berusia 15 tahun (1838), lalu dilanjutkan dengan belajar agama dan bahasa Arab di Makkah selama lima tahun. Di sinilah beliau berinteraksi dengan ajaran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, mirip Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. Buah fatwa tokoh-tokoh Islam ini memiliki efek yang besar pada Darwis. Jiwa dan pemikirannya sarat disemangati oleh pedoman pembaharuan ini yang kelak kemudian hari memperlihatkan corak keagamaan yang serupa, ialah lewat Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pengertian keagamaan (keislaman) di sebagian besar dunia Islam dikala itu masih bersifat ortodoks (terbelakang). Ortodoksi ini dipandang menyebabkan kebekuan fatwa Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Oleh alasannya itu, pengertian keagamaan yang stasis ini harus dirubah dan diperbarui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian pedoman Islam dengan kembali terhadap al-Qur’an dan al-Hadis.
Pada usia 20 tahun (1888 M), beliau kembali ke kampungnya, dan berubah nama Haji Ahmad Dahlan (suatu kebiasaan dari orang-orang Indonesia yang pulang haji, selalu mendapat nama gres selaku pengganti nama kecilnya). Sepulangnya dai Makkah ini, iapun diangkat menjadi Khatib Amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, beliau menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama terhadap beberapa guru di Makkah.
Sepulang dari Makkah, beliau menikah dengan Siti Walidah, Saudara sepupunya sendiri, anak Kiai penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yakni Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. Di samping itu, KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kiai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga memiliki putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Ajengan Penghulu) Cianjur yang berjulukan Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin, Pakualaman Yogyakarta.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melakukan impian pembaharuan Islam Nusantara. Ahmad Dahlan ingin menyelenggarakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan berzakat berdasarkan tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadis. Perkumpulan ini bangun pada tanggal 18 Nopember 1912. Sejak awal Dahlan sudah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik namun bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendiri Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga menerima tantangan dan perlawanan baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya, bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan impian dan usaha pembaharuan Islam di tanah air bias menanggulangi semua rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permintaan terhadap Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan tubuh aturan. Permohonan itu gres dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 27 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk tempat Yogyakarta dan organisasi ini cuma boleh bergerak di kawasan Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda muncul kegelisahan akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi.
Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri, telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini terang berlawanan dengan keinginan Pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan supaya Cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta menggunakan nama lain, misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Makassar, dan di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo bangun asosiasi Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang menerima pimpinan dari Cabang Muhammadiyah.
Sebagai seorang demokrat dalam melakukan acara gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses penilaian kerja dan penyeleksian pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam kegiatan gerakan dakwah Muhammadiyah, sudah diselenggarakan dua belas kali konferensi anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu digunakan perumpamaan Algemeene Vergadering (persidangan biasa ).
Pada usia 66 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, KH. Ahmad Dahlan wafat di Karang Kuncen, Yogyakarta. Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan maka Negara menganugerahkan kepada dia gelar kehormatan selaku Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar kehormatan tersebut dituangkan dalam SK Presiden RI No.657 Tahun 1961, tanggal 27 Desember 1961. Dasar-dasar penetapan itu yaitu sebagai berikut:
- KH. Ahmad Dahlan sudah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya selaku bangsa terjajah yang masih mesti berguru dan berbuat.
- Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, sudah banyak memperlihatkan pedoman Islam yang murni terhadap bangsanya. Ajaran yang menuntut pertumbuhan, kecerdasan, dan berzakat bagi masyarakat dan ummat, dengan dasar Iman dan Islam.
- Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan perkembangan bangsa, dengan jiwa anutan Islam.
- Dengan organisasinya, Muhammadiyah bab wanita (Aisyiyah) sudah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum laki-laki.
Kisah hidup dan perjuangan KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah diangkat ke layar lebar dengan judul “Sang Pencerah”. Tidak hanya menceritakan wacana sejarah kisah KH. Ahmad Dahlan, film ini juga bercerita wacana usaha dan semangat patriotism anak muda dalam merepresentasikan fatwa-pemikirannya yang dianggap bertentangan dengan pengertian agama dan budaya pada era itu, dengan latar belakang situasi Kebangkitan Nasional.
Comments
Post a Comment